Pengendalian Hama Tikus dengan metode Gropyokan Tikus




Keadaan ketahanan pangan nasional berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. Padi merupakan salah satu komoditi di Indonesia yang masih banyak digeluti oleh jutaan petani. Ketergantungan rakyat Indonesia pada petani padi sampai saat ini masih tinggi walaupun diversifikasi pangan lokal lain seperti singkong, sagu, ubi dan lainlainnya sudah mulai digalakkan. Khususnya masyarakat di Kabupaten Lampung Tengah masih menganggap beras merupakan makanan pokok utam. Sehingganya Petani maupun Kelompok Tani di Kabupaten Lampung Tengah masih banyak yang menanam padi pada lahan lahan irigasi atau lahan tadah hujan.

Salah satu unsur penting dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional adalah dengan meningkatkan produktivitas tanaman padi. Peningkatan indeks pertanaman padi seperti yang biasa dilakukan oleh petani yaitu 3 kali dalam setahun dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi namun terkadang menimbulkan permasalahan lain yaitu meningkatnya populasi hama seperti tikus sawah. Keengganan petani melakukan sistem tanam serempak juga mengakibatkan hama tikus meningkat.

Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama utama tanaman padi dengan efek kerusakan yang dapat terjadi mulai dari fase persemaian, fase generative hingga fase penyimpanan di gudang, dengan kerusakan kuantitatif yaitu penurunan bobot produksi akibat dikonsumsi tikus hingga kerusakan kualitatif yaitu adanya kontaminasi kotoran maupun mikroorganisme lainnya yang terbawa oleh tikus. Rata-rata tingkat kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus ini mencapai 20-50% per tahun. Pengendalian hama ini relatif lebih sulit karena sifat biologi dan ekologinya yaitu tubuhnya yang fleksibel, mudah beradaptasi, mudah berkembangbiak dengan sifat prolifik yaitu beranak lebih dari 5 ekor dengan waktu kebuntingan yang singkat yaitu 21-24 hari serta memiliki tempat persembunyian yang sulit dijangkau manusia.

Hama tikus selalu menimbulkan masalah karena pengendalian yang tergolong terlambat. Petani biasanya mulai mengendalikan atau membasmi setelah terjadi serangan. Selain itu, ledakan populasi tidak dapat diantisipasi sebelumnya karena monitoring yang lemah sehingga menyebabkan kerugian yang besar. Tak jarang juga pengendalian dilakukan terbatas, tidak berkelanjutan, dan terkadang terjadi ketidak kompakan antar petani serta masih melekatnya mitos kedaerahan.

Strategi yang dapat dilakukan dalam pengendalian hama tikus sawah perlu dilakukan pada awal musim tanam secara intensif dan berkelanjutan sebelum tikus berkembangbiak. Fase generatif yaitu pada masa tanaman padi bunting merupakan fase awal pemicu perkembangbiakan tikus. Saat padi bunting, tikus akan memakan dan merusak titik tumbuh atau memotong pangkal batang serta memakan bulir gabah bahkan terkadang rumpun padi bisa habis dikonsumsi. Pada fase padi bunting, tanaman padi mengeluarkan aroma tertentu dan bulir padi belum mengalami proses pengerasan fisik pada bagian kulit sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi, selain itu kandungan karbohidrat yang ada pada padi pada masa transisi dari substansi cairan ke bentuk padat, cenderung lebih disukai oleh tikus.

Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari yang murah hingga yang mahal. Beberapa langkah yang dapat dilakukan diantaranya dengan pengasapan atau pengemposan dengan alat alfostran yang merupakan alat peledak berbentuk corong yang tertutup diisi dengan belerang atau solfatara, pembuatan rumah burung hantu sebagai hewan pemangsa tikus sawah, penggropyokan dengan melakukan kegiatan gotong royong petani dalam memberantas tikus dan menggunakan umpan beracun atau perangkap tikus. Penggendalian tikus sawah dengan menggunakan racun atau pengemposan dinilai kurang diminati oleh masyarakat karena biaya yang dikeluarkan cenderung lebih mahal dibanding dengan penggropyokan.

Kegiatan gropyokan tikus selain memiliki tujuan utama dalam membasmi hama tikus juga memiliki kebermanfaatan lain. Kearifan lokal ini menumbuhkan sikap gotong royong antar para petani dan sebagai ajang silaturahmi. kegiatan gropyokan tikus memiliki dimensi moral karena pelaksanannya tidak dapat dilakukan secara individu sehingga gaya hidup gotongroyong dan tolong-menolong tergambar dalam etika kearifan lokal petani dalam pemberantasan tikus metode ini.

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa pengendalian tikus sawah dengan kearifan lokal dapat dilakukan dengan kegiatan gropyokan tikus untuk mengendalikan dampak serangan hama tikus sehingga produktivitas tanaman padi dapat meningkat serta menghindarkan petani maupun masyarakat sekitar persawahan dari tertular penyakit yang dibawa oleh tikus. Melalui kegiatan ini, tercermin kearifan budaya lokal tradisional yang murah, mudah, sederhana, ramah lingkungan dan mempererat silaturahim antar para petani.

­­­


Share :